Perkembangan Kebudayaan Islam pada
Masa Modern
Kebudayaan umat Islam pada masa pembaharuan berkembang ke
arah yang lebih maju. Hal ini dapat dipelajari di berbagai negara Islam atau
negara yang berpenduduk mayoritas umat islam, seperti Saudi Arabia, Mesir,
Irak, Iran, Pakistan, Malaysia, Bruinei, dan Indonesia.
Melalui bangsa Arab (Islam), Eropa
dapat memahami ilmu pengetahuan kuno seperti dari Yunani dan Babilonia. Tokoh
tokoh yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dan kebudayaan saat itu antara lain
sebagai berikut.
a. Al Farabi (780-863M)
Al Farabi
mendapat gelar guru kedua (Aristoteles digelari guru pertama). Al Farabi
mengarang buku, mengumpulkan dan menerjemahkan buku-buku karya aristoteles
b.
Ibnu Rusyd (1120-1198)
Ibnu Rusyd
memiliki peran yang sangat besar sekali pengaruhnya di Eropa sehingga
menimbulkan gerakan Averoisme (di Eropa Ibnu Rusyd dipanggil Averoes) yang
menuntut kebebasan berfikir. Berawal dari Averoisme inilah lahir roformasi pada
abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M di Eropa. Buku-buku karangan
Ibnu Rusyd kini hanya ada salinannya dalam bahasa latin dan banyak dijumpai di
perpustakaan-perpustakaan Eropa dan Amerika. Karya beliau dikenal dengan
Bidayatul Mujtahid dan Tahafutut Tahaful.
c. Ibnu Sina
(980-1060 M)
Di Eropa, Ibnu
Sina dikenal dengan nama Avicena. Beliau adalah seorang dokter di kota Hamazan
Persia, penulis buku-buku kedokteran dan peneliti berbagai penyakit. Beliau
juga seorang filsuf yang terkenal dengan idenya mengenai paham serba wujud atau
wahdatul wujud. Ibnu Sina juga merupakan ahli fisika dan ilmu jiwa. Karyanya
yang terkenal dan penting dalam dunia kedokteran yaitu Al Qanun fi At Tibb yang
menjadi suatu rujukan ilmu kedokteran
Perkembangan Islam pada masa modern meliputi aspek-aspek
sebagai berikut:
1. Huruf, Bahasa, dan Nama-Nama Arab
Al-Quran, sebagai kitab
suci Islam, menggunakan bahasa Arab, bahasa-ibu Nabi Muhammad. Dalam
perkembangannya, bahasa Arab digunakan juga oleh para muslim yang non-Arab
dalam berbagai kegiatan agama, terutama shalat dan mengaji (membaca Al-Quran).
Tak jarang seorang muslim yang pandai membaca Al-Quran dakam bahasa Arab namun
ia kurang atau tidak mengerti arti harfiah teks-teks dalam kitab suci tersebut.
Dan memang salah satu hadis menyatakan bahwa sangat diwajibkan bagi setiap
muslim untuk membaca Quran meski orang bersangkutan tak mengetahui arti dan
makna ayat-ayat yang dibacakan (kecuali ia membaca terjemaahannya).
Dari kebiasaan tersebut, pengaruh bahasa Arab lambat laut merambat dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Persebarah bahasa Arab ini lebih
cepat dari pada persebaran bahasa Sansekerta karena dalam Islam tak ada
pengkastaan, karena itu dari raja hingga rakyat jelata mampu berbahasa Arab.
Pada mulanya memang hanya kaum bangsawan saja yang pandai meulis dan membaca
huruf dan bahasa Arab, namun pada selanjutnya rakyat kecil pun mampu berbahasa
Arab, setidaknya membaca dan menulis Arab kendati tak begitu paham akan
maknanya.
Penggunaan huruf Arab di Indonesia pertama kali terlihat pada batu nisan di
Leran Gresik, yang diduga makam salah seorang bangsawan Majapahit yang telah
masuk Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh huruf dan bahasa Arab
terlihat pada karya-karya sastra di wilayah-wilayah yang keislamannya lumayan
kuat seperti di Sumatera, Sulawesi, Makassar, dan Jawa. Penggunaan bahasa Arab
pun berkembang di pesantren-pesanten Islam.
Penulisan huruf Arab berkembang pesat ketika karya-karya yang bercorak
Hindu-Buddha disusupi unsur-unsur Islam. Huruf yang lebih banyak dipergunakan
adalah aksara Arab gundul (pegon), yakni abjad arab yang ditulis tanpa tanda
bunyi. Sedangkan bahasanya masih menggunakan bahasa setempat seperti Melayu,
Jawa, dan bahasa-bahasa ibu lainnya. Sebelum bersentuhan dengan budaya Eropa
(Portugis dan Belanda}, kitabkitab (sastra, hukum, sejarah) ditulis dengan
huruf pegon ini. Di samping melalui kesusatraan, penggunaan bahasa dan huruf
Arab terjadi di kalangan pedagang. Dalam kalender Masehi, nama-nama hari yang
berjumlah tujuh dalam seminggu, di Indonesia menggunakan nama-nama Arab, yakni
Senin (Isnain), Selasa (Sulasa), Rabu (Rauba’a), Kamis (Khamis), Jumat
(Jum’at), Sabtu (Sabt). Enam dari tujuh hari tersebut semuanya berasal dari
bahasa Arab, kecuali Minggu (bahasa Arabnya: Ahad) yang berasal dari Flaminggo
dari bahasa Portugis. Hanya orang-orang tertentu yang menggunakan kata “ahad”
untuk hari Minggu. Pengabadian istilah “minggu” dilakukan oleh umat Nasrani
Portugis ketika melakukan ibadah di gereja pada hari bersangkutan. Selain
huruf, sistem angka (0, 1, 2, 3, dan seterusnya) pun diadopsi dari budaya Arab;
bahkan semua bangsa mempergunakannya hingga kini.
Selain nama-nama hari,
nama-nama Arab diterapkan pula pada nama-nama orang, misalnya Muhammad,
Abdullah, Umar, Ali, Musa, Ibrahim, Hasan, Hamzah, dan lain-lain. Begitu pula
kosa kata Arab—kebanyakan diambil dari kata-kata yang ada dalam Al-Quran—banyak
yang dipakai sebagai nama orang, tempat, lembaga, atau kosakata (kata benda,
kerja, dan sifat) yang telah diindonesikan, contohnya: nisa (perempuan),
rahmat, berkah (barokah), rezeki (rizki), kitab, ibadah, sejarah (syajaratun),
majelis (majlis), hebat (haibat), silaturahmi (silaturahim), hikayat,
mukadimah, dan masih banyak lagi. Banyak di antara kata-kata serapan tersebut yang
telah mengalami pergeseran makna (melebar atau menyempit), seiring dengan
perkembangan zaman.
2.
Bangunan Fisik (Arsitektur)
Islam telah memperkenalkan
tradisi baru dalam bentuk bangunan. Surutnya Majapahit yang diikuti oleh
perkembangan agama Islam menentukan perubahan tersebut. Islam telah
memperkenalkan tradisi bangunan, seperti mesjid dan makam. Islam melarang
pembakaran jenazah yang merupakan tradisi dalam ajaran Hindu-Buddha; sebaliknya
jenazah bersangkutan harus dimakamkan di dalam tanah. Maka dari itu,
peninggalan berupa nisan bertuliskan Arab merupakan pembaruan seni arsitektur
pada masanya.
Islam pertama kali menyebar
di daerah pesisir melalui asimilasi, perdagangan dan penaklukan militer. Baru
pada abad ke-17, Islam menyebar di hampir seluruh Nusantara. Persebaran
bertahap ini, ternyata tidak berpengaruh terhadap kesamaan bentuk arsitektur di
seluruh kawasan Islam. Sebagian arsitektur Islam banyak terpengaruh dengan
tradisi Hindu-Buddha yang juga telah bersatu padu dengan seni tradisional.
Persebaran Islam tidak dilakuan secara revolusioner yang berlangsung secara
tibatiba dan melalui pergolakan politik dan sosial yang dahsyat.
Memang, menurut Tome Pires (De Graaf dan Pigeaud), terdapat penyerbuan secara militer terhadap ibukota Majapahit yang masih Hindu-Buddha yang dilakukan oleh sejumlah santri dari Kudus yang dipimpin oleh Sunan Kudus dan Rahmatullah Ngudung atau Undung. (Nama Kudus diambil dari kata al-Quds atau Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina, yang merupakan kota suci umat Islam ketiga setelah Mekah dan Madinah). Namun, secara umumnya proses islamisasi berlangsung dengan damai.
Memang, menurut Tome Pires (De Graaf dan Pigeaud), terdapat penyerbuan secara militer terhadap ibukota Majapahit yang masih Hindu-Buddha yang dilakukan oleh sejumlah santri dari Kudus yang dipimpin oleh Sunan Kudus dan Rahmatullah Ngudung atau Undung. (Nama Kudus diambil dari kata al-Quds atau Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina, yang merupakan kota suci umat Islam ketiga setelah Mekah dan Madinah). Namun, secara umumnya proses islamisasi berlangsung dengan damai.
Dengan jalan damai ini, Islam dapat diterima dengan tangan terbuka. Pembangunan
tempat-tempat ibadah tidak sepenuhnya mengadospi arsitektur Timur Tengah. Ada
masjid yang bangunannya merupakan perpaduan budaya Islam-Hindu-Buddha, misalnya
Masjid Kudus—meskipun pembangunannya diragukan, apakah dibangun oleh umat Hindu
atau Islam. Ini terlihat dari menara masjid yang berwujud seperti candi dan
berpatung. Masjid lain yang bercorak campuran adalah Masjid Sunan Kalijaga di
Kadilangu dan Masjid Agung Banten. Atap pada Masjid Sunan Kalijaga berbentuk
undak-undak seperti bentuk atap pura di Bali atau candi-candi di Jawa Timur.
Tempat sentral perubahan seni arsitektur dalam Islam terjadi di pelabuhan yang
meruapkan pusat pembangunan wilayah baru Islam. Sementara para petani di
pedesaan dalam hal seni arsitektur masih mempertahankan tradisi Hindu-Buddha.
Tak diketahui seberapa jauh Islam mengambil tradisi India dalam hal seni,
karena beberapa keraton yang terdapat di Indonesia usianya kurang dari 200
tahun. Pengaruhnya terlihat dari unsur kota. Masjid menggantikan posisi candi
sebagai titik utama kehidupan keagamaan. Letak makam selalu ditempatkan di
belakang masjid sebagai penghormatan bagi leluhur kerajaan. Adapula makam yang
ditempatkan di bukit atau gunung yang tinggi seperti di Imogiri, makam para
raja Mataram-Islam, yang memperlihatkan cara pandang masyarakat Indonesia
(Jawa) tentang alam kosmik zaman prasejarah. Sementara, daerah yang tertutup
tembok masjid merupakan peninggalan tradisi Hindu-Buddha.
Terdapat kesinambungan antara seni arsitektur Islam dengan tradisi sebelum
Islam. Contoh arsitektur klasik yang berpengaruh terhadap arsitektur Islam
adalah atap tumpang, dua jenis pintu gerbang keagamaan, gerbang berbelah dan
gerbang berkusen, serta bermacam unsur hiasan seperti hiasan kaya yang terbuat
dari gerabah untuk puncak atap rumah. Ragam hias sayap terpisah yang disimpan
pada pintu gerbang zaman awal Islam yang mungkin bersumber pada relief makara
atau burung garuda zaman pra-Islam. Namun sayang, peninggalan bentuk arsitektur
itu banyak yang dibuat dari kayu sehingga sangat sedikit yang mampu bertahan
hingga kini.
3. Kesusastraan
Karya sastra merupakan alat
efektif dalam penyebaran sebuah agama. Jalur sastra inilah yang ditempuh
masyarakat muslim dalam penyebaran ajaran mereka. Karya-karya sastra bercorak
Islam yang ditulis di Indonesia, terutama Sumatera dan Jawa, awalnya merupakan
gubahan atas karya-karya sastra klasik dan Hindu-Buddha. Cara ini ditempuh agar
masyarakat pribumi tak terlalu kaget akan ajaran Islam. Selanjutnya, tema-tema
yang ada mulai bernuansa Islami seperti kisah atau cerita para nabi dan rasul,
sahabat Nabi, pahlawan-pahlawan Islam, hingga raja-raja Sumatera dan Jawa.
Adakalanya kisah-kisah tersebut bersifat setengah imajinatif; dalam arti tak
sepenuhnya benar.
a. Karya-karya Sastra Islam-Melayu di Sumatera
Sumatera merupakan daerah pertama
di Indonesia yang dipengaruhi Islam secara politis. Kerajaan Islam tertua pun
ada di sini, yakni Samudera Pasai di Aceh. Karya sastra yang dibuat di Sumatera
ini kebanyakan menggunakan bahasa Melayu yang merupakan bahasa istana dan
dagang, dengan aksara Arab. Karya sastra di Sumatera ini macam-macam bentuknya,
ada yang berwujud kesusastraan agama, kesusastraan epos Islam, kesusastraan
sejarah, pantun, cerita berinduk, undang-undang, cerita binatang (fabel),
bahkan persuratan. Sedangkan dalam bentuknya ada yang puisi (syair) dan prosa.
Berikut ini beberapa karya sastra sejarah dan agama yang ada di Sumatera:
(1)
Hikayat
Raja-Raja Pasai, menceritakan asal mula Kesultanan Samudera Pasai yang
didirikan oleh Sultan Malik as-Saleh yang sebelumnya bernama Merah Sile (Merah
Selu), putera bangsawan Pasai, Merah Gajah. Merah merupakan gelar bagi
bangsawan Sumatera Utara. Merah Sile masuk Islam setelah bertemu dengan Syekh
Ismail, seorang utusan Syekh Mekah. Syekh Ismail pula yang memberikan nama
Malik as-Saleh padanya.
(2)
Hikayat
Aceh,
menceritakan sebagian besar tentang masa kanak-kanak hingga kebesaran Iskandar
Muda; juga dikisahkan berdirinya Kerajaan Aceh. Namun, nama penulis hikayat ini
tak diketahui; yang jelas, penulisnya ini bisa satu orang atau terdiri dari
beberapa orang penulis yang bekerja untuk pihak Aceh.
(3)
Syair
Burung Pungguk, Syair Burung Pingai, dan Syair Perahu, ketiganya hasil
karya Hamzah Fansuri yang memperkenalkan bentuk syair kepada khasanah sastra
Melayu. Fansuri hidup pada masa Sultan Iskandar Muda. Hamzah Fansuri memiliki
seorang murid bernama Syekh Syamsuddin as-Sumatrani (Syamsuddin Pasai).
(4)
Turjuman
al-Mustafid (Terjemahan
Pemberi Faedah), sebuah kitab tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu karya Abdur
Rauf Singkel, merupakan buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di
Indonesia. Abdur Rauf Singkel adalah pendiri Tarekat Syattariah di Aceh pada
masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin Tajul Alam.
(5)
Hikayat
Perang Palembang, para penulisnya tak diketahui, mengisahkan perang antara
pasukan Kerajaan Palembang melawan Hindia Belanda.
(6)
Hikayat
Melayu, di
antaranya menceritakan cerita Panji Damar Wulan, perkawinan Sultan Malaka
Mansur Syah dengan puteri Jawa dan Cina, serangan Peringgi (Portugis) ke Malaka
tahun 1511.
(7)
Bustan
al-Salatin, yang
ditulis Nuruddin ar-Raniri pada masa Sultan Iskandar Thani, menceritakan
sejarah Kerajaan Aceh, raja-raja sebelum Iskandar Thani, masa kecil,
perkawinan, pemakaman Baginda Iskandar Thani, hingga tiga orang raja setelah
Baginda. Selain itu, kitab ini pun membahas proses penciptaan alam semesta,
para nabi, pahlawan, bahkan ilmu pengetahuan.
(8)
Syair
Perang Mengkasar, ditulis oleh Encik Amin, mengisahkan kejadian peperangan
antara rakyat Makassar menghadapi VOC Belanda.
Sebentulnya masih banyak lagi kitab sastra berjenis sejarah dan keagaman.
Berikut ini karya sastra tentang epos Islam: Hikayat Iskandar Zulkarnain,
Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Hanifah. Sementara itu cerita berinduk
contohnya Hikayat Bayan Budiman. Keempat kitab tersebut ditulis pada masa
Samudera Pasai.
Selain Hamzah Fansuri, Abdur Rauf Singkel, dan Nuruddin ar-Raniri; ada beberapa
nama pengarang Melayu yang cukup terkenal, di antara dari Riau, misalnya:
(1) Datuk Syahbandar Riau, menulis Kitab Adab al-Muluk;
(1) Datuk Syahbandar Riau, menulis Kitab Adab al-Muluk;
(2)
Bilal Abu,
menulis Syair Siti Zawiyah;
(3)
Raja Ahmad,
menulis Syair Raksi, Syair Engku Puteri, Syair Perang Johor;
(4)
Raja Ali,
menulis Hikayat Riau, Syair Nasihat;
(5)
Daeng Wuh,
menulis Syair Sultan Yahya;
(6)
Raja Abdullah, menulis Syair Madi, Syair Kahar Mansyur, Syair Sarkan;
(7)
Raja Ali Haji, merupakan penulis Melayu paling terkenal sepanjang masa,
karya-karyanya di antaranya adalah: Gurindam Dua Belas, Syair Sultan Abdul
Muluk, Bustan al- Katibin Li’l-Subyani al-Muta’alimin (Perkebunan Jurutulis
bagi Kanak-Kanak yang Hendak Menuntut Belajar akan Dia), Ikatikatan Dua Belas
Puji, Kitab Pengetahuan Bahasa, Syair Nasihat kepada Pemerintah, Silsilah
Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya, Syair Hukum Nikah, dan masih banyak
lagi.
(8)
Tengku Said,
menulis Hikayat Siak atau Sejarah Raja-Raja Melayu;
Selain terdapat di Sumatera, kesusastraan Melayu berkembang pula di Banjar, Kalimantan Timur, yang mulai berkembang pada abad ke-18. Karya-karyanya berupa kitab keagamaan, undang-undang, dan sastra sejarah seperti Hikayat Banjar yang menceritakan proses islamisasi rakyat Banjar yang melibatkan Samudera Pasai dan Majapahit. Selain itu, ada pula karya-karya sastra yang ditulis di Semenanjung Melayu (Malaka). Sejumlah kerajaan seperti Johor, Melaka, Brunei, dan Pattani di Muangthai memiliki karya-karya sastra tersendiri yang juga memakai bahasa Melayu.
Selain terdapat di Sumatera, kesusastraan Melayu berkembang pula di Banjar, Kalimantan Timur, yang mulai berkembang pada abad ke-18. Karya-karyanya berupa kitab keagamaan, undang-undang, dan sastra sejarah seperti Hikayat Banjar yang menceritakan proses islamisasi rakyat Banjar yang melibatkan Samudera Pasai dan Majapahit. Selain itu, ada pula karya-karya sastra yang ditulis di Semenanjung Melayu (Malaka). Sejumlah kerajaan seperti Johor, Melaka, Brunei, dan Pattani di Muangthai memiliki karya-karya sastra tersendiri yang juga memakai bahasa Melayu.
Pada
perkembangan selanjutnya, sastra berbahasa Melayu merupakan cikal-bakal
kesusastraan Indonesia modern, sebagaimana bahasa Melayu merupakan akar dari
bahasa Indonesia.
b.
Karya-karya Sastra Islam di Jawa
Karya-karya bercorak Islam di Jawa Barat, Tengah, dan Timur kebanyakan merupakan
sastra sejarah dan suluk. Di antaranya ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa
Jawa dan Sunda. Tidak seperti sastra-sastra Hindu-Buddha yang jumlahnya
terbatas dan sebagian hilang, karya-karya bercorak Islam jumlahnya lebih banyak
dan cukup terpelihara. Tema-temanya pun cenderung bersifat kesejarahan (meski
sebagian isinya dapat diragukan). Berikut ini beberapa karya sastra yang
ditulis pada masa Islam di Jawa, yaitu:
(1) Sajarah Banten, umumnya menceritakan riwayat raja-raja
Banten, raja-raja Demak yang berkaiatan dengan para penguasa Jepara, kisah para
sunan dan wali Islam. Sajarah Banten, di antaranya, menulis Ki Dilah dari
Palembang yang pernah membangkang terhadap Majapahit dua kali; lalu Pati Unus
sebagai penguasa Demak diperintah untuk menundukkan Ki Dilah dan berhasil.
Menurut Sajarah Banten, Sunan Giri dan Bonang pernah belajar Islam di Samudera
Pasai.
(2) Hikayat Hasanuddin, isinya lebih pendek dari Sajarah Banten,
memuat riwayat raja-raja Banten, Demak, Sunan Gunung Jati, serta nama-nama imam
di Mesjid Demak.
(3) Serat Kandha, ditulis pada abad ke-18 yang bersumber dari
karya-karya penulis pesisir utara Jawa abad ke-16 dan 17, memuat kehidupan
Sultan Trenggana Demak.
(4) Babad Mataram, merupakan ringkasan Serat Kandha, ditulis
pada abad ke-18 juga, keduanya menceritakan riwayat keluarga Mataram.
(5) Babad Sangkala, memuat daftar-daftar tarikh (tahun) yang
lumayan kumplit tentang peristiwa-peristiwa sejarah pada masanya.
(6) Sajarah Dalem, berisi silsilah keluarga raja Mataram-Islam
yang disusun di Surakarta (Solo) pada abad ke-19, di dalamnya terdapat pula
daftar generasi yang lebih tua dari raja-raja Mataram.
(7) Babad Pasir, berasal dari pedalaman Banyumas, memuat
seputar islamisasi di Jawa Tengah dan Timur yang kebenarannya diragukan karena
bersifat legenda.
(8) Babad Tanah Djawi, memuat asal-usul raja-raja di Jawa dari masa
Hindu-Buddha hingga Islam. Diceritakan bahwa rajaraja Jawa merupakan keturunan
langsung dari Nabi Adam, dewa-dewa Hindu, Arjuna dari Pandawa, Jayabaya raja
Kediri, raja-raja Mataram-Islam, hingga sepak terjang para Wali (terutama Sunan
Kalijaga) dalam menyiarkan Islam dan membangun Masjid Agung Demak. Dari babad
ini terlihat bahwa terjadi pencampuradukan antara kitab suci, alam mitologi
dewa Hindu, dunia pewayangan, dengan sejarah itu sendiri.
(9) Serat Rama, Serat Bharatayudha, Serat Mintaraga, serta
Arjuna Sastrabahu, karya sastrawan Yasadipura I, yang hidup dari tahun 1729
hingga 1803 yang hidup pada masa Paku Buwono II Surakarta. Yasadipura I
dipandang sebagai sastrawan besar Jawa. Ia menulis empat buku klasik yang
disadur dari bahasa Jawa Kuno (Kawi). Selain menyadur sastra-sastra Hindu-Jawa,
Yasadipura I juga menyadur sastra Melayu, yakni Hikayat Amir Hamzah yang
digubah menjadi Serat Menak. Ia pun menerjemahkan Dewa Ruci dan Serat
Nitisastra Kakawin. Ia menerjemahkan pula kitab Taj as-Salatin ke dalam bahasa
Jawa menjadi Serat Tajusalatin serta Anbiya. Selain itu, ia pun menulis naskah
bersifat kesejarahan secara cermat, yaitu Serat Cabolek dan Babad Giyanti.
4. Seni Rupa dan Kaligrafi
Seni rupa dalam dunia Islam berbeda dengan seni rupa dalam Hindu-Buddha. Dalam
ajaran Islam tak diperbolehkan menggambar, memahat, membuat relief yang
objeknya berupa makhluk hidup khususnya hewan. Maka dari itu, seni rupa Islam
identik dengan seni kaligrafi. Seni kaligrafi adalah seni menulis aksara indah
yang merupakan kata atau kalimat. Dalam Islam, biasanya kaligrafi berwujud
gambar binatang atau manusia (tapi hanya bentuk siluetnya saja). Ada pula, seni
kaligrafi yang tidak berbentuk makhluk hidup, melainkan hanya rangkaian aksara
yang diperindah. Teks-teks dari Al-Quran merupakan tema yang sering dituangkan
dalam seni kaligrafi ini. Sedangkan, bahanbahan yang digunakan sebagai tempat
untuk menulis kaligrafi ini adalah nisan makam, pada dinding masjid, mihrab
masjid, kain tenunan atau kertas sebagai pajangan atau kayu sebagai pajangan.
Selain huruf Arab, tradisi kaligrafi dikenal pula di Cina, Jepang, dan Korea.
5.
Seni Tari dan Musik
Dalam bidang seni tari dan musik, budaya Islam hingga sekarang begitu terasa
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dalam perjalanannya, kebudayaan
Islam sebelum masuk ke wilayah Indonesia telah dahulu bercampur dengan
kebudayaan lain, misalnya kebudayaan Afrika Utara, Persia, anak Benua India,
dan lain-lain. Dan telah menjadi hukum alam, bahwa setiap tarian memerlukan
iringan musik. Begitu pula seni tari Islami, selalu diiringi alunan musik
sebagai penyemangat sekaligus sebagai sarana perenungan. Lazimnya tarian-tarian
ini dipraktikkan di daerah pesisir laut yang pengaruh Islamnya kental, karena
daerah pesisir merupakan tempat pertama kali Islam berkembang, baik sebagai
kekuatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Selain musik penyemangat, ada pula tarian dan musik yang bersifat sufistik,
yakni seni meleburkan diri dengan sang Pencipta. Biasanya ajaran sufi ini lahir
dari tarekat-tarekat yang didirikan oleh ulama. Pada abad ke-11, di Turki telah
lahir gerakan tarekat yang didirikan Jalaluddin Ar-Rumi yang memperkenalkan
tarian berputar atau tarian darwis. Darwis dalah sebutan bagi orang yang tengah
menjalani ajaran sufisme. Di Indonesia memang tari darwis ini kurang
berkembang, meski bukannya tidak ada.
a. Debus
Kesenian ini sebetulnya telah ada sebelum Islam lahir. Tarian debus berkembang
di daerah yang nuansa Islamnya cukup kental, seperti Banten, Minangkabau, dan
Aceh. Pertunjukan debus ini diawali dahulu oleh nyanyian atau pembacaan
ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an serta salam (salawat) kepada Nabi Muhammad.
Pada puncak acara, para pemain debus menusuk-nusukkan benda tajam ke hampir
seluruh badannya, namun tetap kebal sehingga benda tajam tidak mempan menusuk
atau mengiris tubuhnya.
b. Seudati
Tari seudati berkembang di Aceh, daerah di Indonesia yang pertama dipengaruhi
budaya Islam. Kata “seudati” berasal dari kata syaidati, yang artrinya permainan
orang-orang besar. Tarian seudati sering disebut saman (yang berarti delapan)
karena permainan ini mula-mula dilakukan oleh delapan pemain. Dalam tari
seudati, para penari menyanyikan lagu tertentu yang isinya berupa salawat
terhadap Nabi.
c. Zapin
Selain tari seudati dan debus, ada sebuah jenis tarian yang hampir ada di
seluruh Nusantara, terutama daerah yang pengaruh unsur Islam sangat kuat, di
antaranya tari zapin yang dipraktikkan di Deli, Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Bengkulu, dan Lampung. Di Pulau Jawa, tarian zapin ini dilakukan oleh
masyarakat Jakarta, Pekalongan, Tuban, Gresik, Bondowoso, Yogyakarta, Madura,
Nusa Tenggara. Di samping Sumatera dan Jawa, daerah Kalimantan, Sulawesi,
Ternate, Seram, dan beberapa daerah di Maluku. Setiap daerah tersebut
mengembangkan tarian zapin ini menurut tradisinya masing-masing.
Kata zapin sendiri ditafsir berasal dari kata Arab, zafin yang berarti
melangkah atau langkah. Bisa pula dari kata zaf (alat petik berdawai 12
pengiring tarian) atau dari al-zafn (mengambil langkah atau mengangkat satu
kaki). Tari ini dibawa oleh pedagang Arab, Persia, dan India pada abad ke-13.
6. Seni Busana
Dalam
agama Islam, ada jenis pakaian tertentu yang menunjukkan identitas umat Islam.
Jenis pakaian tersebut adalah sarung, baju koko, kopeah, kerudung, jilbab, dan
sebagainya.